Akankah Indonesia Menjadi Wilayah Siklon? Sinyal Iklim Baru Menimbulkan Pertanyaan Serius

Pada akhir November tahun ini, Indonesia kembali mengalami salah satu bencana iklim paling kacau. Banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dipicu oleh curah hujan ekstrem serta meluapnya sistem sungai, sementara degradasi lingkungan seperti deforestasi dan alih fungsi lahan memperparah limpasan air dan kerentanan masyarakat. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah siklon tropis, yang sebelumnya dianggap jarang terjadi di kawasan ekuator, dapat menjadi lebih umum di Indonesia akibat perubahan iklim global?

Salah satu faktor utama dalam pembentukan siklon tropis adalah peningkatan suhu permukaan laut (SST). Kenaikan sebesar 1–2°C saja dapat meningkatkan penguapan, kandungan uap air, dan potensi terbentuknya awan konvektif besar yang menjadi cikal-bakal siklon. Suhu permukaan laut yang lebih hangat pada akhir 2025 menyebabkan cuaca ekstrem dan hujan bergelombang di wilayah barat Indonesia. Pada pertengahan hingga akhir November, Siklon Senyar terbentuk di selatan, sehingga Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini mengenai potensi pembentukan siklon di selatan Jawa dan barat daya Sumatra. Dengan angin monsun yang bergerak dari timur ke barat, sistem badai yang terbentuk di lepas pantai tetap dapat memengaruhi cuaca di Sumatra bagian utara.

Riset terbaru UNSW dan BMKG mengungkap hubungan mengejutkan antara pemanasan Antartika dan badai tropis di Asia Tenggara

September yang lalu, ilmuwan atmosfer mencatat kondisi yang tidak biasa terjadi di Antartika. Menurut temuan Martin Jucker, dosen senior bidang Ilmu Atmosfer di UNSW, telah terjadi pemanasan stratosfer mendadak di wilayah kutub selatan pada awal September. Suhu meningkat lebih dari 35°C dari kondisi normal di bawah −60°C menjadi sekitar −20°C, dan angin pada polar vortex muncul di sekitar 12-40 km di atas permukaan tanah. Meskipun tetap sangat dingin, perubahan ini mencolok, karena pemanasan mendadak semacam itu biasanya hanya terjadi sekali dalam dua dekade. Jucker menjelaskan bahwa kejadian ini dapat mengganggu pola sirkulasi atmosfer yang sudah mapan di belahan bumi selatan.

Perubahan tersebut tidak secara langsung membentuk siklon di daerah tropis, namun dapat mempengaruhi dinamika iklim berskala besar yang menentukan pola hujan dan angin dalam beberapa bulan berikutnya. Para meteorolog Australia yang semula memperkirakan musim semi yang lebih basah kemudian memperingatkan adanya angin barat yang lebih kuat, massa udara yang lebih hangat, dan kondisi lebih kering di sebagian wilayah. Jika polar vortex kembali normal, suhu akan cenderung stabil; tetapi jika anomali berlanjut, pola cuaca belahan bumi selatan bisa berubah lebih jauh, berpotensi meningkatkan risiko kondisi panas dan kering di wilayah utara—termasuk Indonesia dan Australia—sekaligus memengaruhi distribusi dan intensitas sistem hujan tropis.

Pemanasan laut, perubahan angin monsun, dan deforestasi memperburuk risiko iklim di Indonesia



Pada 2 Desember 2025, BMKG melaporkan dalam artikel Kompas bahwa bibit siklon tropis 93W pertama kali terdeteksi pada 28 November di Samudra Pasifik bagian utara, timur laut Papua, pada koordinat sekitar 13° LU dan 135° BT, masih dalam area pantauan Jakarta TCWC. Pada saat artikel ini ditulis, bibit siklon lainnya, 91S, juga telah diamati. Meski posisi Indonesia relatif dekat garis ekuator, di mana siklon jarang terbentuk karena lemahnya gaya Coriolis, keberadaan bibit siklon tersebut menunjukkan bahwa suhu laut yang tinggi dan kondisi atmosfer yang mendukung dapat menghasilkan sistem badai terorganisasi yang membawa curah hujan besar dan potensi kerusakan lokal.

Sementara itu, gangguan lingkungan berkelanjutan di Antartika memberikan gambaran besar yang mengkhawatirkan. Kehilangan es laut, gelombang panas, kegagalan berkembang biak di koloni penguin kaisar, dan perubahan sirkulasi laut dalam Antartika semakin meningkat. Edward Doddridge dari University of Tasmania menekankan bahwa mencair dan hilangnya bongkahan es di laut pada musim panas mempercepat keretakan rak es dan pemanasan samudra, yang pada akhirnya mempercepat pencairan rak es yang tersisa dan memperlambat sirkulasi laut dalam. Perubahan sirkulasi laut ini dapat memiliki dampak berantai terhadap pola iklim global, termasuk pola curah hujan di kawasan Indo-Pasifik.

Perubahan iklim jelas memperparah berbagai fenomena cuaca ekstrem, tetapi memahami faktor pendorong di tingkat regional dan lokal tetap penting. Di Indonesia, alih fungsi lahan baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun permukiman tidak menyebabkan pembentukan siklon tropis, tetapi meningkatkan dampak bencana. Hilangnya tutupan hutan mengurangi kapasitas tanah dalam menyerap air, meningkatkan sedimentasi, melemahkan daerah aliran sungai, dan membuat komunitas lebih rentan terhadap hujan ekstrem yang sebelumnya mungkin dapat ditangani.

Di tengah munculnya siklon langka dan hujan ekstrem di Asia Tenggara, pertanyaan kunci bukan sekadar apakah perubahan iklim “penyebab utamanya,” tetapi bagaimana interaksi antara berbagai faktor lingkungan: pemanasan laut global, perubahan sirkulasi atmosfer, anomali SST regional, dan kebijakan penggunaan lahan lokal. Semua berperan dan secara bersama menentukan apakah sebuah badai akan menjadi bencana.

Post a Comment

Previous Post Next Post